PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 1965-1968/1969
Setelah kemerdekaan hingga tahun 1965, perekonomoian Indonesia memasuki era yang sangat sulit, karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan. Kegiatan ekonomi masyarakat sangat minim, perusahaan-perusahaan besar saat itu merupakan perusahaan peninggalan penjajah yang mayoritas milik orang asing, dimana produk berorientasi pada ekspor. Kondisi stabilitas sosial- politik dan keamanan yang kurang stabil membuat perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.
Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadi hiper inflasi yang mencapai lebih 500% pada akhir tahun 1965
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak.
Pemerintahaan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadualan ulang hutang luer negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing. Pada era tahun 1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar 7% antara tahun 1968 sampai 1981. Reformasi ekonomi lebih lanjut menjelang akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan pelemahan nilai rupiah yang terkendali, selanjutnya mengalirkan investasi asing ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor pada antara tahun 1989 sampai 1997 Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu, yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998.
Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDP indonesia tahun 2004 dan 2005 melebihi 5% dan diperkirakan akan terus berlanjut. Namun demikian, dampak pertumbuhan itu belum cukup besar dalam mempengaruhi tingkat pengangguran,
PEMBANGUNAN EKONOMI DI MASA ORDE LAMA
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.
Meskipun pemerintah kolonial belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia dalam konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, namun tidak bisa ditutupi kenyataan bahwa hasil-hasil KMB banyak menguntungkan kepentingan ekonomi Belanda. Setidaknya untuk menopang perekonomian negeri Belanda yang masih carut-marut paska perang dunia ke II, pemerintah Belanda memandang penting mempertahankan perusahaan-perusahaanya di Indonesia. Indonesia tetap amat penting bagi ekonomi Belanda. Hal ini tercermin dari suatu perkiraan resmi Belanda yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia, pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia, transfer uang pensiun dan tabungan, dan lain-lain) merupakan 7,8 persen dari pendapatan nasional Belanda.
Tahun-tahun berikutnya, sampai tahun 1957, sewaktu semua perusahaan Belanda diambil alih oleh pekerja, angka persentase ini adalah: 8,2 persen (1951); 7,0 persen (1952); 5,8 persen (1953); 4,6 persen (1954); 4,1 persen (1955); 3,3 persen (1956); dan 2,9 persen (1957). Di sisi lain, beberapa tokoh Indonesia -terutama Moh.Hatta yang memimpin delegasi Indonesia- menganggap bahwa apapun hasil KMB tetap harus diterima. Menurut mereka yang paling penting, Belanda menarik kekuatan militernya dan menghargai kedaulatan politik Indonesia. Beberapa kelompok kiri -terutama yang berbasiskan serikat pekerja- menganggap bahwa eksistensi perusahaan-perusaan Belanda di Indonesia, selain melakukan penindasan langsung terhadap pekerja Indonesia dengan politik upah murah, juga merupakan perwujudan masih bercokolnya neokolonialisme di Indonesia.
Menghadapi ”watak kolonial” yang masih bercokol terutama di lapangan ekonomi, pemerintah berupaya mengambil langkah untuk menyelamatkan sektor yang dianggap strategis, terutama perbankan. Pada tahun 1953, dilakukan nasionalisasi terhadap Bank Java dan kemudian namanya berubah menjadi ”Bank Indonesia”. Serta membentuk dua Financial Bank yaitu: Bank Industri Negara (BIN) yang akan membiayai proyek-proyek indutri; dan Bank Negara Indonesia (BNI) yang menyediakan foreign-exchange sekaligus membiayai kegiatan impor.
Di samping itu, karena desakan kaum kiri dan nasionalis, kabinet Wilopo akhirnya melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan listrik dan penerbangan . Tindakan nasionalisasi ini semakin berkembang luas karena di dorong oleh mobilisasi kaum pekerja yang dipimpin SOBSI. Beberapa perusahaan belanda yang berhasil dinasionalisasi kemudian dikelola dengan sistem Self-Management.
Langkah pemerintah berikutnya adalah mengamankan usaha-usaha yang menyangkut harkat hidup orang banyak, seperti: balai gadai, beberapa wilayah pertanian yang penting, pos, telepon, listrik, pelabuhan, pertambangan batu bara dan rel kereta. Selanjutnya pemerintah membiayai perusahan negara melalui BIN di sektor produksi semen, tekstil, perakitan mobil, gelas, dan botol.
Langkah terakhir pemerintah adalah berusaha memutuskan kontrol Belanda dalam bidang perdagangan ekspor-impor dengan mendirikan Pusat Perusahaan Perdagangan pada tahun 1948 untuk mengekspor produk pertanian Indonesia. Pemerintah juga mendirikan USINDO pada tahun 1956 untuk mengekspor industri manufaktur -yang dibiayai oleh BIN- dan mengimpor bahan mentah untuk keperluan industri mereka.
Semua langkah intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi ini ditujukan untuk membangun infrastruktur bagi perkembangan kelas kapitalis dalam negeri. Program Sumitro Djojohadikusumo menggambarkan dengan jelas maksud dari rencana ini. Dimulai pada tahun 1951, BIN mengucurkan dana sebesar Rp 160 juta untuk membiayai proyek-proyek industri. Berbagai macam industri termasuk pengolahan karet, semen, tekstil didirikan. Pemerintah menguasai kepemilikan serta manajemennya. Namun pemilik modal dalam negeri tidak mampu memobilisir modal mereka untuk menjadi partner dalam industri-industri tersebut dan juga tak mampu menemukan usaha lain yang lebih menguntungkan.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara
· Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100,
· Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
· Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Pelaksanaan Demokrasi Orde Baru 1966-1998
Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya surat perintah 11 maret 1966, orde baru bertekad akan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsukuen. Awal orde baru member harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan pemilihan umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab :
· Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
· Rekrutmen politik yang tertutup
· Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
· Pengakuan HAM yang terbatas
· Tumbuhnya KKN yang merajalela
Sebab jatuhnya orde baru :
· Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
· Terjadinya krisis politik
· TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
· Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi presiden
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 mei 1998.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis, antara lain:
1. Keluarnya ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
2. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tapMPR tentang Referandum.
3. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
4. Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden RI
5. Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I. II. III. IV
6. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)
Pada reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah dua kali yaitu tahun 1999 dan tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar