Debt Collector = Premanisme Modern
Kekerasan yang dilakukan debt collector merupakan pelanggaran HAM Bagaimana tidak, nasabah yang tidak mampu membayar dipukuli. Mereka mendapatkan penyiksaan sehingga mengakibatkan kehilangan nyawa nasabah. Jelas ini menjadi sebuah bentuk premanisme yang dilegalkan. Mereka berlindung dibalik predikat menjalankan tugas bank.
Bekerja sebagai debt coller, seharusnya melihat kondisi seseorang, tidak semua orang yang ditagih berada pada posisi yang menguntungkan. Penagih harus jeli dan menanyakan alasan kenapa sulit membayar tagihan. Sikap manusiawi dijunjung tinggi sehingga tidak menghasilkan sikap main hakim sendiri.
Ancaman kekerasan yang menghantui nasabah jelas memerlukan perlindungan hukum, kepolisian bertanggung jawab melakukan tugas ini. Jika seorang preman terus diburu polisi, mengapa gaya premanisme debt collector tidak menjadi perhatian polisi. Jangan membiarkan kejahatan para ‘tukang tagih’ ini melawan hukum. Masyarakat menunggu sikap tegas kepolisian dan pemerintah menghadapi ulah debt collector.
Nasabah bank juga manusia, mereka punya alasan mengapa tidak membayar utang. Bayangkan jika penagih utang sebagi nasabah. Kebutuhan keluarga banyak membutuhkan uang. Kemudian anda datang, membentak nasabah untuk membayar . jika gagal, paksaan beraroma kekerasan fisik dipilih sebagai jalan penyelesaian. Ketika emosi berkuasa, nyawa menjadi murah. Jiwa seorang manusia tidak lagi beharga.
Sebaiknya kedepan, bank perlu memberikan pelatihan kepada penagih utang. Mereka memerlukan pendekatan dari hati. Ajak nasabah merundingkan bagaimana penyelesaian utang secara damai. Hentikan tindakan kekerasan sebab itu tidak menyelesaikan masalah. Bukan itu mungkin malah berlanjut ke jalur hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar